Jumat, 14 Oktober 2016

Pelajaran Berharga Nindy

Nindy masih tidak percaya, kata-kata itu keluar dari mulut seorang laki-laki yang selama ini ia anggap berbeda dari pernyataan laki-laki itu. Dadanya berdebar dan bibirnya bergetar, tak mampu berkata hanya berteriak dalam hati "aku juga sama, dari dulu, kenapa baru sekarang?".

Ia tertunduk lesu menahan air mata dan sedikit sesak di dada, sambil mengusap cincin di jari manis kirinya. Pilihannya kini bagaikan memilih naik kereta, murah namun lambat tapi banyak cerita, atau naik pesawat, mahal namun menghemat banyak waktu.

" Hei, tunggu dulu", pikirnya. Ini sudah ditentukan, sudah bukan waktunya lagi untuk berpikir. Mau tidak mau dia harus bertahan pada janjinya yang pertama. Walaupun tawaran ini begitu dapat lebih dipercaya daripada yang pertama.

Kedua tangannya mengepal dan dia menelan ludahnya beberapa kali, mencoba menahan sesak di dadanya. Bibirnya bergetar, "Sesungguhnya jodoh itu sama seperti rezeki, sudah ada jatahnya, ditentukan oleh yang Maha Kuasa Allah Azza wa Jalla. Hanya bagaimana kita mendapatkannya. Komitmen ini sudahlah harus dipegang teguh dan ditepati walau tawaran lain menggoda hati, walau masih belum komitmen tertinggi, tapi mendzalimi bukanlah pilihan syar'i untuk memenuhi hasrat dalam hati".

" Bismillah", akhirnya hatinya mantap, menatap masa depan meski mungkin harus meratap, tinggal pada atap yang tidak tegap. Cintanya tidak dapat dipudarkan walaupun datang aral melintang, karena didasari cinta pada Yang Kuasalah yang menumbuhkan cintanya pada mas-nya, yang juga diajarkan oleh mas-nya itu. Bahwa cinta kepada Tuhannya, haruslah di atas segalanya. Lillahi Ta'ala, dia menolak tawaran itu.

"Maaf", katanya sambil merapikan tasnya yang berisi segepok uang kaku dari mesin ATM. Lelaki itu masih menatapnya walau kini berubah ekspresinya, kecewa dan tidak terima. Tapi dia juga sudah siap dengan segala konsekuensi, kini hanya tersisa doa agar wanita yang dicintainya dari lama, dapat bahagia walau bukan dengannya.

"Ini, jangan lupa nomor antrian ICU-mu". Katanya sambil memberikan secarik kertas bertuliskan nomor. Nindy mengambilnya lalu segera membuka pintu mobil kecil bertenaga 310 Tenaga Kuda itu. " Semoga mas-mu cepat sembuh, aku berharap aku juga dapat membatu melunasi hutang-hutangnya". Kata lelaki itu.

Nindy terhenyak, matanya berkaca-kaca dan dadanya tambah sesak. "Terima kasih", katanya menutup pintu lalu sedikit berlari ke dalam Rumah Sakit. Aliran air matanya agak membelok karena terkena gaya dari kecepatan lari kecilnya.

Pertanyaannya, berapakah kecepatan lari Nindy bila massa air mata = 0,3 gram, percepatan gravitasi bumi = 10 m/s^2 dan sudut kemiringan jatuh air mata = 20° terhadap garis vertikal?

Jika Nindy menangis di dalam mobil bertenaga 310 PS tersebut, berapakah sudut kemiringan jatuhnya air mata Nindy terhadap garis vertikal bila mobil dapat menempuh 0 - 100 km/jam dalam 4 detik?

:v

Kamis, 07 Januari 2016

KALA ITU

Kala itu,

Tertegunlah seorang pria baya memperhatikan binkai berisi foto tahun-tahun silam yang telah lama hilang dan tak tertemukan, ternyata selama ini ada di atas loteng rumahnya dalam sebuah kardus bertuliskan “masa-masa itu”.

Tersenyum, terkecut, tertarik otot-otot bibir dan wajah memandang kekosongan dengan pikiran melayang-layang terbang ke masa-masa silam teringat semuanya, keluar semuanya memori, indah, pahit, senang, duka, sedih, susah payah, pusing, lelah, kepala mau pecah, hampir gila dan seterusnya-seterusnya.

Terus bergerak-gerak otot wajah, nafas hampir tersengal dan bulu roma merinding mengingat hal-hal pada masa itu. Semburan air dari dalam kelopak mata atas dan bawah tak terbendung sudah, jatuh! Luruh! semuanya basahlah pipi-pipinya yang keras dan banyak luka akibat tidak terlalu diperhatikan selama ini.

Sesak, sengal nafas tak karuan membuat otot dadanya melonjak-lonjak seperti orang cegukan. Tak terasa tanga mulai menyikapi derasan air itu. Diseka namun keluar lagi, diseka lagi namun keluar lagi. Berupayalah lengan baju kaos putih agak kotor terkena debu loteng, diseka lagi namun keluar lagi.

Jatuh berlutut tak kuat lutut menahan getaran jiwa emosi yang meletup-letup tak karuan. Bingung entah apa yang dipikir, entah, bahagia, senang, sedih, rindu, atau apalah itu namanya. Sungguh menjengkelkan baginya yang sudah seperti itu harus menangis seperti itu. Teringatlah masa itu tangisan yang sama yang tak terbendung memang dan tak dapat dipungkiri lagi walau banyak orang kala itu.

Saat-saat perpisahan itu begitu hal yang tidak diinginkan sekali kala itu, namun jika memang bertemu maka harus siap dengan berpisah bagaimanapun itu. Bertemu bukan bertemu namun hanya semakin banyak frekuensi saling bercengkrama sama lain, berpisah bukan berpisah namun hanya frekuensinya semakin berkurang.

Doa pak tua! Yang mengalir seiring dengan air mata tak terbendung sembari tangannya mencari-cari sisa-sisa lainnya yang mungkin masih ada pada kardus. Tangisannya belum henti jua basah tercetak pada pinggiran kardus lapuk hampir lusuh termakan serangga dan usia.

Robithah pak tua! Yang menderu-deru tercerca tak senada indah tersengal nafas tak karuan dia. Bersholawatlah dan berdzikirlah ia, menangkan luapan-luapan tak terkendali diri.

Sudahlah itu bersegera turun dari tangga-tangga kecil menuju alat akses kenangan modern digital yang datanya tersimpan jauh namun dekat. Hati tersegera tuk kembali buka kontak data sahabat tuk hubungi dan bangkitkan kembali hal yang sudah terlepas dan silaturahim lagi, dalam jeratan tali-tali kuat yang mengekang ukhuwahnya.