Kamis, 07 Januari 2016

KALA ITU

Kala itu,

Tertegunlah seorang pria baya memperhatikan binkai berisi foto tahun-tahun silam yang telah lama hilang dan tak tertemukan, ternyata selama ini ada di atas loteng rumahnya dalam sebuah kardus bertuliskan “masa-masa itu”.

Tersenyum, terkecut, tertarik otot-otot bibir dan wajah memandang kekosongan dengan pikiran melayang-layang terbang ke masa-masa silam teringat semuanya, keluar semuanya memori, indah, pahit, senang, duka, sedih, susah payah, pusing, lelah, kepala mau pecah, hampir gila dan seterusnya-seterusnya.

Terus bergerak-gerak otot wajah, nafas hampir tersengal dan bulu roma merinding mengingat hal-hal pada masa itu. Semburan air dari dalam kelopak mata atas dan bawah tak terbendung sudah, jatuh! Luruh! semuanya basahlah pipi-pipinya yang keras dan banyak luka akibat tidak terlalu diperhatikan selama ini.

Sesak, sengal nafas tak karuan membuat otot dadanya melonjak-lonjak seperti orang cegukan. Tak terasa tanga mulai menyikapi derasan air itu. Diseka namun keluar lagi, diseka lagi namun keluar lagi. Berupayalah lengan baju kaos putih agak kotor terkena debu loteng, diseka lagi namun keluar lagi.

Jatuh berlutut tak kuat lutut menahan getaran jiwa emosi yang meletup-letup tak karuan. Bingung entah apa yang dipikir, entah, bahagia, senang, sedih, rindu, atau apalah itu namanya. Sungguh menjengkelkan baginya yang sudah seperti itu harus menangis seperti itu. Teringatlah masa itu tangisan yang sama yang tak terbendung memang dan tak dapat dipungkiri lagi walau banyak orang kala itu.

Saat-saat perpisahan itu begitu hal yang tidak diinginkan sekali kala itu, namun jika memang bertemu maka harus siap dengan berpisah bagaimanapun itu. Bertemu bukan bertemu namun hanya semakin banyak frekuensi saling bercengkrama sama lain, berpisah bukan berpisah namun hanya frekuensinya semakin berkurang.

Doa pak tua! Yang mengalir seiring dengan air mata tak terbendung sembari tangannya mencari-cari sisa-sisa lainnya yang mungkin masih ada pada kardus. Tangisannya belum henti jua basah tercetak pada pinggiran kardus lapuk hampir lusuh termakan serangga dan usia.

Robithah pak tua! Yang menderu-deru tercerca tak senada indah tersengal nafas tak karuan dia. Bersholawatlah dan berdzikirlah ia, menangkan luapan-luapan tak terkendali diri.

Sudahlah itu bersegera turun dari tangga-tangga kecil menuju alat akses kenangan modern digital yang datanya tersimpan jauh namun dekat. Hati tersegera tuk kembali buka kontak data sahabat tuk hubungi dan bangkitkan kembali hal yang sudah terlepas dan silaturahim lagi, dalam jeratan tali-tali kuat yang mengekang ukhuwahnya.


 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar